BIOGRAFI KH. NASIR ZAYYADI
Tepatnya hari jumat legi tanggal 04 juli 1941 M/ 09 Jumadil Akhirah 1360 H lahirlah seorang bayi di desa Ganjaran Gondanglegi Malang yang kelak juga akan menjadi penerus perjuangan Ky. Tombu dan juga menjadi pejuang agama dengan penuh keihlasan serta mempunyai karisma tinggi. Jamaluddin, begitulah nama bayi itu. Kehadiran seorang bayi yang bernama Jamaluddin tersebut tentunya sangat membahagiakan kedua orangtuanya. Karena beliau merupakan putra sulung dan laki-laki satu-satunya. Beliau lahir sebagai anak terakhir dari tiga bersaudara yaitu: 1) Ny. Hj. Qomariyah, 2) Ny. Hj. Rumsiyah, dan 3) KH. Nasir Zayyadi (Jamaluddin). Sebagaimana mayoriyas dalam tradisi Muslim abangan di Jawa, yang sering menggunakan nama ayah setelah namanya sendiri KH. Nasir putra Zayyadi menjadi KH. Nasir Zayyadi.
Pada masa kecilnya, Jamaluddin tumbuh sehat dan layakanya putra sang Kyai, sudah akrab dengan pendidikan agama khususnya tauhid, karena Kyai. Tombu dalam mengajar para santri-santrinya lebih mengedepankan pengetahuan-pengetahuan tentang ketauhidan sehingga tidak heran apabila alumni dari pesantren Zainul Ulum mempunyai kematangan dalam bidang ilmu tauhid.
Jamaluddin mulai dari kecilnya sudah ditinggal wafat oleh ayahnya Kyai Zayyadi karena sakit yang di deritanya sehingga beliau menjadi seorang anak yang yatim. Kyai Zayyadi wafat dan di makamkan Durjan Bangkalan Madura karena pada awalnya beliau pamit untuk pergi kesana hanya untuk berobat. Namun karena sakit yang di deritanya tidak kunjung sembuh dan tidak mampu untuk kembali ke Desa Ganjaran, akhirnya beliau wafat dan dimakamkan di desa tersebut di samping makam Kyai Nyato. Meskipun demikian Jamaluddin tidak putus asa dia belajar untuk lebih mandiri dan berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk mencapai yang di cita-citakannya.
Pada masa remaja ini Jamaluddin kehilangan sang Ibu tercintanya Ny. Hj. Siti Maryam. Semasa hidupnya beliau adalah seorang suka dan cinta dengan kebersihan. Setiap harinya beliau selalu menyapu halaman, bersih-bersih, mencabuti rerumputan yang ada di sekitar Pondok dan kediaman Kyai Tombu hingga sampai di sekitar selokan-selokan jalan. Sehingga tidak heran apabila putra-putrinya kelak juga akan menjadi seperti ibunya.
Mulai masih muda beliau menimba ilmunya pada kakeknya sendiri Ky. Tombu hingga masa remajanya dan pada akhirnya beliau mondok ke Pondok Pesantren Lirboyo dan Sarang. Semangat beliau untuk menimba ilmu sangatlah tinggi sebab meskipun pada masa remaja ini sudah ditinggal oleh sang Ayah maupun sang Ibu namun tidak memutuskan cita-citanya. Sering kali ketika mau berangkat ke pondoknya Jamaluddin muda harus berjalan kaki serta memikul perbekalannya untuk sampai ke stasiun kepanjen atau desa ketawang tempat kendaraan umum berangkat.
tepatnya pada tahun 1968 KH. Nasir Zayyadi dengan Ny. Marwati keduanya menikah. Pernikahan beliau juga bertepatan dengan pernikahan Ny. Hj. Hindun dengan KH. Ismail. Ketikan pengurusan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Gondanglegi kedua mempelai di bawa dengan naik delman.
Dari pernikahan tersebut, KH. Nasir Zayyadi di karuniai tujuh orang putra: 1)Ny. Syar`iyah, 2)Ky. Subhan, 3) Ny. Lutfiyah, 4) KH. Muchlashon, 5)Ny. Rofiqoh, 6)Gus Mas`ud 7) Ning Rohayati.
Dengan niat yang sudah sangat mantap, pada tahun 1982 beliau memutuskan untuk pindah ke desa Ganjaran selatan meski isteri beliau sendiri Ny. Hj. Marwati dan putra-putranya tidak mengiyakannya. Seiring berjalannya waktu akhirnya Ny. Hj. Marwati mau untuk pindah ke Ganjaran.
KH. Nasir Zayyadi bertekat untuk meneruskan perjuangannya. Beliau mendirikan Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Mansyaul Ulum yang resmi terdaftar di Departemen Agama pada tahun 1984.
Dengan antusias masyarakat setempat sangat tinggi, tidak kurang dari 500 penduduk berduyun-duyun untuk bergotong-royong membantu pembangunan pesantren. Materialnya didapat dari pemberian H. Muhyiddin Sumber Jaya (besan KH. Nasir Zayyadi).
Tepat pada hari Ahad Wage, 07 Juli 2002 M/26 Rabiul Akhir 1423 H, KH. Nazir Zayyadi dipanggil sang pencipta di kediamannya pada pukul 11.00 WIB. Ia menderita penyakit komplikasi sejak lama. Sejak itulah masyarakat khususnya desa Gajaran dan para muridnya merasa kehilangan karena telah ditinggalkan oleh sosok panutannya. (al Fatihah…)
Tunggu Kisah selengkapnya yang akan dibukukan.