Oleh: Ning Luluk Amanah
Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Ada sekelumit cerita menarik yang saya dapati di hari itu. Cerita tersebut terjadi pada anak saya yang ketiga. Namanya Zayyin.
Karena Hari Guru tahun ini jatuh pada hari Jum’at, hari di mana madrasah kami merupakan libur umum, Zayyin meminta izin pada hari tersebut untuk sementara waktu tidak bisa membantu saya membersihkan dan merapikan isi rumah. Ia memilih untuk memberi kejutan kepada gurunya. Benar-benar anak yang membanggakan.
Kira-kira tiga minggu sebelumnya, saya teringat dengan nasihat KH. Muhlashon Nasir kepada seluruh santri PP. Mansyaul Ulum. Pada waktu khataman kajian kitab Ta’limul Mutaallim usai salat Subuh itu, beliau berpesan agar saat tiba liburan semester ganjil yang akan datang, seluruh santri hendaknya bersambang pada semua guru-gurunya. Tujuannya tidak ada yang lain kecuali mengharap keberkahan dari seseorang yang telah mendidiknya. Sehingga dengan rida dan berkah guru, para santri diharapkan mendapatkan kemudahan dalam menuntut ilmu.
Kembali kepada cerita anak saya, Zayyin. Ketika ia hendak berangkat memberi kejutan kepada wali kelasnya, saya pun tergelitik untuk bertanya tentang siapa saja yang akan diberi kejutan. Zayyin menjawab kalau dia dan teman-temannya hendak memberi kejutan kepada satu guru saja, yaitu wali kelasnya yang sekarang. Seraya bercanda saya pun bertanya kembali, “Memang gurunya Zayyin cuma satu, ya?” Lantas saya menyebutkan semua guru-gurunya mulai dari KB, RA, TPQ, kelas 1 sampai guru kelas 5.
Alhasil, Zayyin cuma bisa senyum-senyum sembari berkata, “Kalau dikasih kejutan semua uangnya tidak cukup, Umi”. Seketika itu saya menjelaskan kepada Zayyin, kalau tanda terima kasih itu tak selalu harus dibalas dengan materi saja, lantunan doa yang tulus dan istiqomah, adab, dan tata krama yang baik yang bisa diamalkan sehari-hari, serta kesuksean yang membawa kita lebih dekat kepada Allah itu juga merupakan tanda terima kasih yang tak terhingga dari seorang murid untuk gurunya.
Kesejahteraan guru memang jauh dari kata cukup. Menjadi seorang guru memang tidak bisa dijadikan sebagai profesi utama. Apalagi guru swasta yang belum tersertifikasi. Teringat akan pesan pengawas MA Mansyaul Ulum, Drs. H. Winarso ketika melaksanakan PKKM (penilaian kinerja kepala madrasah), kalau madrasah swasta itu harus punya usaha sendiri. Dengan demikian kesejahteraan gurunya tidak harus bergantung pada iuran dari siswa atau menunggu BOS yang terkadang turun di luar jadwal yang semestinya. Tapi kalau kita memiliki rezeki yang lebih alangkah baiknya kita menyisihkannya untuk berbagi kebahagiaan dengan guru-guru kita.
Terakhir saya hanya bisa berpesan, kenanglah semua gurumu dalam lantunan doa secara terus-menerus. Amalkan apa yang diajarkannya. Berakhlaklah dengan akhlak yang mulia. Dan ketika engkau sukses tetaplah merendah di hadapan gurumu, karena sampai kapanpun engkau tetaplah muridnya.